HUKUM UNDANG-UNDANG
PERBURUHAN
Definisi Hukum
Perburuhan
Hukum Perburuhan adalah seperangkat
aturan dan norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur pola
hubungan Industrial antara Pengusaha, disatu sisi, dan Pekerja atau buruh
disisi yang lain.
Definisi hukum perburuhan menurut
para ahli hukum sebagai berikut :
Molenaar,
hukum perburuhan adalah bagian hukum yang berlaku, yang pokoknya mengatur
hubungan antara buruh dengan majikan, buruh dengan buruh, buruh dengan
penguasa.
Mok, hukum
perburuan adalah hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan
oleh swapekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan
risiko sendiri.
Soetikno, hukum
perburuhan adalah keseluruhan peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang
mengakibatkan seseorang secara pribadi ditempatkan dibawah
perintah/pimpinan oranglain dan mengenai keadaan-keadaan penghidupan
yang langsung bersangkutpaut dengan hubungan kerja tersebut.
Sejarah Hukum Perburuhan
Pasca reformasi, hukum perburuhan
memang mengalami perubahan luar biasa radikal. baik secara regulatif, politik,
ideologis bahkan ekonomi Global. Proses industrialisasi sebagai bagian dari
gerak historis ekonomi politik suatu bangsa dalam perkembanganya mulai menuai
momentumnya. hukum perburuhan, setidaknya menjadi peredam konflik kepentingan
antara pekerja dan pengusaha sekaligus. Secara regulatif, dan Gradual hukum
perburuhan kemudian menemukan momentumnya. hal tersebut terepresentasi dalam
tiga paket Undang-Undang perburuhan antara lain: Undang-undang No. 21 tahun
2000 Tentang Serikat Buruh, Undang-undang No.13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, dan Undang-Undang No.2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).
Sifat Hukum Ketenagakerjaan (perburuhan)
Bersifat Hukum Privat (perdata)
Karena
mengatur hubungan orang-perorangan yaitu antara pekerja dgn pengusaha
Bersifat Hukum Publik
Karena
dalam pelaksanaannya diperlukan campur tangan pemerintah, contoh: penetapan
upah minimum, perizinan yang menyangkut ketenagakerjaan, masalah penyelesaian
hubungan industrial, adanya sanksi terhadap pelanggaran atau tindak pidana di
bidang ketenagakerjaan.
Imperatif/ Memaksa (dwingenrecht) : artinya hukum yg harus ditaati
secara mutlak, tidak boleh dilanggar.
Contoh:
Pasal 42 ayat (1) UU No.13/ 2003
ttg. izin penggunaan tenagakerja
Pasal 59 ayat (1) UU No.13/ 2003
ttg. pembuatan perjanjian kerja waktu tertentu
Bersifat Fakultatif/
Mengatur (regelendrecht)
Contoh
:
Pasal 51 ayat (1) UU No.13/2003
tentang Pembuatan perjanjian kerja bisa tertulis dan tidak tertulis
Pasal 16 PP No.8/ 1981 tentang
kebebasan pengusaha untuk membayar gaji di tempat yg
lazim
Tujuan
Hukum Ketenagakerjaan
Dalam Pasal 4 UU No. 13/2003 UU
Ketenagakerjaan disebutkan bahwa tujuan Pengeturan ketenagakerjaan adalah
untuk:
·
Memberdayakan
& mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi
·
Mewujudkan
pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai denga kebutuhan
pembangunan nasional dan daerah
·
Memberikan
perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan
·
Meningkatkan
kesejahteraan tenaga kerja dan keluargan
UNDANG UNDANG PERBURUHAN NO.12
TH 1948
Tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh
Tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh
Undang-undang ini menjelaskan
tentang aturan-aturan terhadap pekerja buruh dalam hal persyaratan untuk
menjadi seorang buruh, pengaturan jam kerja dan jam istirahat, pemberian upah,
perlindungan terhadap buruh perempuan, tempat kerja dan perumahan buruh,
tanggung jawab, pengusutan pelanggaran, dan aturan tambahan.
Undang-undang ini berfungsi untuk
melindungi buruh dari hal-hal yang tidak diharapkan.
Adanya bunyi dari Undang-Undang
Perburuhan No.12 Th 1948 :
Pasal 10.
(1) Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu. Jikalau pekerjaan dijalankan pada malam hari atau berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh, waktu kerja tidak boleh lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu.
(1) Buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu. Jikalau pekerjaan dijalankan pada malam hari atau berbahaya bagi kesehatan atau keselamatan buruh, waktu kerja tidak boleh lebih dari 6 jam sehari dan 35 jam seminggu.
(2) Setelah buruh menjalankan
pekerjaan selama 4 jam terus menerus harus diadakan waktu istirahat yang
sedikitsedikitnya setengah jam lamanya; waktu istirahat itu tidak termasuk jam
bekerja termaksud dalam ayat 1.
Pasal 13. ayat 2
(2) Buruh Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur-kandung.
(2) Buruh Wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya ia menurut perhitungan akan melahirkan anak dan satu setengah bulan sesudah melahirkan anak atau gugur-kandung.
UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1964
Tentang Pemutusan Hubungan Kerja di
Perusahaan Swasta
Menimbang:
bahwa untuk lebih menjamin
ketenteraman serta kepastian bekerja bagi kaum buruh yang disamping tani harus
menjamin kekuatan pokok dalam revolusi dan harus menjadi soko guru masyarakat
adil makmur, seperti tersebut dalam Manifesto Politik, beserta perinciannya,
perlu segera dikeluarkan Undang-Undang tentang Pemutusan Hubungan Kerja di
Perusahaan Swasta.
Pasal 1
(1) Pengusaha harus mengusahakan
agar jangan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja
dilarang:
a. Selama buruh berhalangan
menjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selama
waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus menerus.
b. Selama buruh berhalangan
menjalankan pekerjaannya karena mematuhi kewajiban terhadap Negara yang ditetapkan oleh Undang-undang
atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya dan
yang disetujui Pemerintah.
Pasal 2
Bila setelah diadakan segala usaha
pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, pengusaha harus merundingkan
maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasi buruh yang
bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak menjadi
anggota dari salah satu organisasi buruh.
Pasal 3
(1) Bila perundingan tersebut dalam
pasal 2 nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapat
memutuskan hubungan kerja dengan buruh, setelah memperoleh izin Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah ( Panitia Daerah), termaksud pada
pasal 5 Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 42) bagi pemutusan hubungan kerja
perorangan, dan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat
(Panitia Pusat) termaksud pada pasal 12 Undang-undang tersebut di atas bagi
pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
(2) Pemutusan hubungan kerja secara
besar-besaran dianggap terjadi jika dalam satu perusahaan dalam satu bulan,
pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan 10 orang buruh atau lebih, atau
mengadakan rentetan pemutusan-pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan
suatu itikad untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
Pasal 4
Izin termaksud pada pasal 3 tidak
diperlukan bila pemutusan hubungan kerja dilakukan terhadap buruh dalam masa
percobaan. Lamanya masa percobaan tidak boleh melebihi tiga bulan dan adanya
masa percobaan harus diberitahukan lebih dahulu pada calon buruh yang
bersangkutan.
Pasal 5
(1)
Permohonan izin pemutusan hubungan
kerja beserta alasan-alasan yang menjadi dasarnya harus diajukan secara
tertulis kepada Panitia Daerah, yang wilayah kekuasaannya meliputi tempat
kedudukan pengusaha bagi pemutusan hubungan kerja perorangan dan kepada Pusat
bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.
•
Pasal 51 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan,mengenai pembuatan penjanjian kerja bisa tertulis dan tidak
tertulis. Dikategorikan sebagaiPasal yang sifatnya mengatur oleh karena
tidak harus/wajib perjanjiankerja itu dalam bentuk tertulis dapat
juga lisan, tidak ada sanksi bagi mereka yang membuatperjanjian
secara lisan sehingga perjanjian kerja dalam bentuk tertulis bukanlah
hal yangimperative/memaksa;
•
Pasal 60 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan,mengenai perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat
mensyaratkan masa percobaan 3 (tiga)bulan. Ketentuan ini juga bersifat mengatur
oleh karena pengusaha bebas untuk menjalankanmasa percobaan atau tidak
ketika melakukan hubungan kerja waktu tidak tertentu/permanen.
•
Pasal 10 ayat(1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, bagipengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi
pengusaha. Merupakanketentuan hukum mengatur oleh karena ketentuan ini dapat
dijalankan (merupakan hak) dandapat pula tidak dilaksanakan oleh
pengusaha.
Nama : Ancas Asri W.
NPM : 2D214048
Kelas : 2EB29
Tugas Softskill
Tidak ada komentar:
Posting Komentar